Entri Populer

Senin, 25 Juli 2011

Tentang motivasi

Setiap kita tentu pernah merasakan suatu keinginan yang kuat akan sesuatu? Kalaupun anda belum, saya sudah pernah. Sangat kuat malah. Dan kalau sudah, ya, bersyukurlah anda. Bersyukur karena anda adalah salah seorang yang bisa mengubah dunia ini. 
Keinginan yang kuat, yang terus saja membuncah,meletup-letup dan  tak muat rasanya di simpan di badan yang hanya sebatang, apalagi di simpan di bilik memori. Tak muat dia, sehingga selalu mencari “ulah” untuk dapat keluar, paling tidak terlaksana sedikit dari apa yang di inginkan tadi. Sedikit saja rasanya cukup. Sudah rileks sedikit dan merasa agak terpuaskan. Hanya itu.
Maslow seperti yang kita tahu mengambarkan hal keyakinan motivasi sebagai kebutuhan-kebutuhan  yang harus dipenuhi secara bertingkat sesuai dengan perkembangan psikologis dan umur manusia itu sendiri. Kalau Maslow membagi lima (5) kebutuhan tersebut menjadi kebutuhan fisik, rasa aman, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi. Dimana menurut Maslow, manusia pada umumnya akan memenuhi kebutuhan fisiknya terlebih dahulu seperti: makan, minum, pakaian dan kebutuhan biologis lainnya, pokoknya yang berkaitan dengan fisik manusia itu sendiri. Lalu setelah merasakan kebutuhan akan fisiknya terpenuhi maka dia akan meningkatkan kebutuhan tersebut menjadi rasa aman. Sesuatu yang membuat dia merasa aman dan nyaman dari lingkungannya seperti kebutuhan akan rumah yang dapat melindunginya dari hujan dan panas, pokoknya hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan rasa keamanan yang membuat dia merasa terlindungi dari “kejahatan” yang berada di sekitarnya.
Pada tingkatan selanjutnya manusia tersebut akan meningkatkan kebutuhannya untuk rasa kasih sayang. Nah, rasa kasih sayang ini berkaitan dengan orang lain selain dirinya, Dia akan meminta untuk lebih “diperhatikan” agar diberikan rasa kasih sayang yang lagi-lagi “lebih’ dari orang sekitarnya. Dia akan berusaha untuk “menciptakan” rasa kasih sayang pada dirinya yang akan di dapat dari pacar, keluarga, teman, dan masyarakat. Lalu jika ini sudah terpenuhi maka dia akan membutuhkan penghargaan. Penghargaan dalam bentuk prestise, nama baik, status, jabatan, harkat martabat, rasa dipercaya dan bentuk lainnya yang merupakan wujut penghargaan pada seseorang. Dan, jikalau hal ini juga sudah terpenuhi maka dia akan memenuhi kebutuhannya akan aktualisasi diri. Aktualisasi diri atau penuangan kemampuannya dalam berbagai hal seperti ilmu pengetahuan, kemampuan, kesenian, keterampilan dan lainnya yang merupakan media untuk penuangan segala kemampuannya.
Nah, apa benar seperti yang di katakan oleh Maslow bahwa lima (5) hal tersebutlah yang di tuju oleh manusia?artinya manusia selalu termotivasi untuk memenuhi kebutuhannya yang lima tersebut?teori maslow ini sudah banyak dan di “pakai” dimana-mana untuk menggambarkan motivasi manusia, dan merupakan sebuah bahan teori baku dalam menganalisa motivasi manusia.
Jikalau menurut pendapat saya, yang tidak membantah teori maslow atau teori motivasi lainnya yang sudah sangat ilmiah, motivasi manusia yang terbesar adalah adanya “hasrat/keinginan/keyakinan/kesadaran/energi” untuk “berubah” menjadi “lebih baik”. Lebih baik untuk siapa? Tentu saja untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, Negara dan dunia.
Kenapa harus menjadi lebih baik? sebab hasil akhir dari motivasi bisa saja menjadi baik dan buruk. Kalau hasil akhir dari motivasi tersebut baik semua, maka pemantauan akan Sehingga untuk mengarahkan hasil motivasi tersebut menjadi sesuatu yang baik maka diperlukan pemberian tekanan dalam bentuk yang positif dan negative sehingga menimbulkan hasrat/keinginan/keyakinan/kesadaran/energy bagi orang tersebut. Walaupun dalam hal ini hasil akhir yang di minta dari proses tekanan tersebut adalah “sesuatu yang lebih baik”. Atau dalam bahasa simplenya adalahSebab, hasrat/keinginan/keyakinan/kesadaran/energi yang negative biasanya akan membawa kearah kesengsaraan. Bisa di dunia, bisa di akhirat. Kesengsaraannya bisa jadi dalam berbagai bentuk kejadian yang bisa terjadi dimana saja, dan kapan saja, bisa cepat bisa lambat. Oleh karena itu saya tidak mengkategorikannya sebagai motivasi. Motivasi menurut saya haruslah mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Baik mulai dari niat/keyakinannya sampai dengan hasil yang terbentuk dari motivasi tersebut. Sedangkan sesuatu yang bernilai negative menurut saya bukanlah motivasi sebab hal tersebut adalah “racun” bagi manusia itu sendiri.
Walaupun dalam kajian ilmiah salah satu bentuk dari motivasi adalah motivasi negatif yang di lakukan dengan hal-hal yang memberatkan 
Karena itu saya setuju dengan pendapat French & Rafen tentang motivasi yang dikutip oleh Stoner, Freeman & Gilbert (1995) dimana menurut mereka“Motivation is the set of forces that cause people to behave in certain ways” (motivasi adalah sekumpulan tekanan yang memaksa seseorang untuk bertindak). 
 dan bedanya saya? Saya tidak membagi keinginan saya sesuai kebutuhan maslow itu. Tapi menurut saya keinginan itu jauh lebih tinggi dari kebutuhan yang di katakan oleh maslow diatas. Sebab masih menurut saya keinginan itu adalah sebuah visi. Sesuatu tujuan yang “mendesak” untuk di penuhi dan jikalau tidak dia akan terus “ternayang-bayang”.Mungkin cara pandang kami (maslow dan saya) yang beda terhadap kebutuhan dan keinginan. Kenapa?karena kalau menurut saya keinginan itu melampaui yang namanya kebutuhan.

Jikalau di ukur secara akademis mungkin banyak yang tidak setuju dengan pendapat saya, karena tidak ilmiah dan hanya berlandaskan pengalaman.

Tentang luka, bohong dan cinta

Kali ini kita membahas mengenai luka dan bohong dan cinta. Luka biasanya dirasakan oleh seseorang jika dia merasakan kesakitan, pokoknya terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan bagi diri kita itulah luka. Dan bohong, sebagai terjemahan bebasnya adalah tidak jujur, tidak mengatakan yang sebenarnya, menyembunyikan sesuatu, atau simpelnya adalah lain di kata lain kenyataannya.
Yang menarik adalah ternyata luka dan bohong biasanya berjalan selaras dengan cinta. Yup, bahasan kali ini mencoba untuk mencari hubungan yang terjadi antara luka, bohong dan cinta. Apakah luka, bohong dan cinta itu adalah sebuah keniscayaan yang selalu “pasti” ada di setiap cinta?atau dia (luka dan bohong) itu hanyalah “anak haram” dari cinta? Dan apa pula akibat dari luka dan bohong itu bagi cinta.
Bahasan pertama adalah apakah luka dan bohong selalu ada bersama sejarah cinta? Saya rasa tidak, sebab awal dari cinta menurut saya adalah “ketersendirian dan keterpesonaan”. Kenapa? Karena bapak dari semua manusia (Adam) pada awalnya adalah sendiri dan akhirnya di ciptakanlah oleh Sang Maha Pencipta ibu dari manusia (hawa) yang menimbulkan keterpesonaan Adam saat pertama kali melihatnya yang akhirnya mengucapkan rasa terima kasih pada Sang Pencipta.
Jadi awalnya cinta itu sendiri, lalu kemudian setelah adam dan hawa “keluar” dari sorga maka sejarah cinta mulai di catat dengan tinta hitam. Apa sebab? Karena anak dari adam dan hawa melakukan pembunuhan karena cinta. Itulah kisah yang terjadi pada habil dan khabil. Cinta yang terjadi karena “luka” bahwa dia lebih berhak dari pada saudaranya. Hal ini terjadi karena dia merasa hatinya sudah tidak sanggup lagi untuk menanggung luka cinta tersebut.
Hati yang menanggung kepedihan. Begitulah akhirnya cinta di gambarkan sebagai bunga mawar berduri, bunga indah memikat dan semerbak yang menarik siapa saja, namun untuk mendapatkannnya harus dengan luka. Hingga adalah istilah “Love is like a flower, Holds a lot of ran” (cinta ibaratkan bunga, yang menyimpan banyak kedengkian) atau “Love is like a flame, it burns you when it’s hot” (cinta ibarat api, yang membakar diri).
Dan berdampingan dengan luka ternyata bohong juga menjadi “catatan” tersendiri dalam cinta. Ada yang bilang “cinta tak pernah berdusta” ada yang bilang “ku cinta caramu mempermainkan ku”. Hal ini berarti bohong bukanlah bagian dari cinta. Karena, cinta tak kan pernah berdusta, jika berdusta atau berbohong bukan cinta lah namanya, mungkin “suka, sayang, atau kata-kata indah lainnya”. Mungkin.
Bohong dalam cinta memang tidak ada, sebab ia akan cepat terasa seperti minum teh atau kopi yang kita tahu langsung apakan minuman itu terlalu manis atau tidaknya. Atau dalam bahasa kerennya adalah “I Can't Tell You What It Really Is, I Can Only Tell You What It Feels Like” (Aku tak bisa mengatakan yang sebenarnya padamu, yang ku bisa hanya mengatakan bagaimana rasanya) dan akibat bohong bagi cinta? Mungkin lirik dari “I love the way you Lie” paling cocok untuk mengambarkannya “You Ever Love Somebody So Much, You Could Barely Breathe When You With 'em? You Meet, And Neither One Of You Even Know It Hit 'em, Got That Warm Fuzzy Feeling, Yeah, Them Chills, Used To Get 'em, Now You're Gettin' Fuckin' Sick Of Lookin' At 'em. You Swore You'd Never Hit 'em, Never Do Nothing To Hurt 'em, Now You're In Each Others Face Spewing Venom In Your Words When You Spit 'em, You Push, Pull Each Others Hair, Scratch, Claw, Bit 'em, Throw 'em Down, Pin 'em, So Lost In The Moments When You're In 'em”.
Dari pemaparan diatas dapat di katakan bahwa luka dan bohong menghasilkan sesuatu yang buruk pada cinta, namun entah kenapa pula banyak orang yang “merelakan” dirinya untuk terluka dan terbohongi demi cinta.

Girl You Don’t Know That You’r So “Beautiful”

Tulisan ini di buat waktu mendengarkan lagunya Akon “Beautiful” yang akhirnya mengispirasikan untuk membuat tulisan ini. Beautiful atau cantik dalam terjemahan bebasnya, biasanya adalah kata yang dilekatkan pada seseorang, biasanya di sandarkan pada perempuan, mungkin karena kata ini lebih bersifat feminis. Mungkin. Sebab belum pernah saya mendengar ada beautiful men, he he, tapi kalau “a beautiful mind” saya kenal betul.
Sebenarnya, kalau menurut pendapat saya sendiri yang bukan siapa-siapa ini, setiap perempuan mempunyai “kecantikan” tersendiri dalam dirinya. Kecantikan yang menurut istilah baratnya “inner beauty” atau mungkin dalam bahasa daerah kita adalah perempuan yang “tahu di alu jo patuik” yaitu seorang perempuan yang mampu menempatkan dirinya sesuai dengan keadaan yang ada di sekitarnya tanpa kehilangan jati dirinya sendiri.
Kenapa “kehilangan” jati diri ini menjadi penting bagi seorang “beautiful girl”? sebab jika seorang perempuan tersebut “mencelupkan” dirinya terlalu dalam pada lingkungan yang sebenarnya bukan di siapkan secara menyeluruh untuknya, maka dia akan merasa kehilangan dirinya, yang dalam bahasa keren, pada akhirnya dia akan merasa bahwa dia “teralienisasi’ dari lingkungannya sendiri.
Perasaan teralienisasi ini terjadi sebagai akibat interaksi sosial dia dengan masyarakatnya yang tentu saja berbeda arah pandangan atau paradigma dengan dirinya. Dengan begitu seorang perempuan yang teralienisasi tersebut secara perlahan akan tersingkir dari lingkungan sosialnya. Itulah semacam proses interaksi sosial yang mungkin sangat sering terjadi jika para pihak perempuan mencoba untuk menuntut “persamaan” hak dalam segala hal dengan kaum pria (catat “hak” bukan “kewajiban”, jadi “kewajiban” tetap menjadi milik abadi kaum pria).
Nah, hal diatas adalah masalah umum yang terjadi saat sekarang ini dan masih dalam proses perdebatan panjang, dan sebaiknya kita tidak pula harus ikut-ikutan dalam memperdebatkan hal itu. Sebab, menurut saya akan percuma.
Jadi sebenarnya banyak perempuan yang menurut saya kehilangan jati dirinya, atau menurut spekulasi saya, sekarang boleh dikatakan bahwa untuk daerah perkotaan hampir seluruh perempuan mengalami “alienisasi” terhadap dirinya sendiri. Mereka umumnya merasa asing dengan kodratnya sebagai seorang perempuan. Mereka merasa bahwa semenjak mereka dilahirkan sampai nanti meninggal mereka berada di “penjara”, dimana setiap gerak mereka akan di perhatikan dan di batasi oleh tembok-tembok dingin dan keras yang tak mungkin untuk mereka rubuhkan. Dan, setiap kali mereka berusaha untuk keluar dari kurungan itu selalu saja mereka di salahkan dan lagi-lagi mereka harus rela dengan terpaksa untuk mendekam di “penjara” tersebut.
Dan adalah di Indonesia ini seorang pahlawan bagi para perempuan. Yang suratnya tenar ke Manca Negara, suratnya yang terkenal itu adalah “habis gelap terbitlah terang” dan perempuan yang menjadi idola itu adalah R.A Kartini.
Kartini kalau tidak salah saya baca dalam surat-suratnya, bukanlah gambaran dari perempuan-perempuan yang teralienisasi dari dirinya sendiri dan dari lingkungannya. Apa sebab? Karena kartini tahu  siapa dirinya dan mau melakukan sesuatu untuk lingkungan sekitarnya, walau pada waktu itu pikirannya mungkin dianggap “tabu”.
Dan lagi, kesalahan banyak perempuan di negri ini seperti yang saya perhatikan di media massa baik elektronik maupun yang tidak dan berdasarkan observasi subjektif di lingkungan sendiri. Perempuan umumnya mempunyai masalah dengan penampilan “fisik” mereka. Sehingga mereka cendrung untuk mengikuti arah selera pasar. Maka tidak salah kalau para ahli psikolog dan marketing mengatakan bahwa perempuan umumnya mengambil keputusan dengan menggunakan “emosional” sedang pria kebalikannya. Bahkan para marketing menggunakan banyak kata “pujian” untuk mendapatkan “hati” konsumennya, tujuannya agar mereka tertarik secara emosi dan jikalau emosi sudah meraja anggab saja rasio sebagai babu, sebaik dan sebagus apapun yang disampaikannya tidak akan ada artinya bagi sang maha raja.
Penampilan fisik menjadi arah tujuan utama, padahal manusia menurut kata para ahli terdiri atas dua bagian yaitu fisik dan non fisik (jiwa). Bukannya saya tidak meyetujui pentingnya tampilan fisik, atau wajah yang menarik, bukan. Tapi, saya ingin menekankan bahwa para perempuan sekarang sering terjebak dengan jaring fisik, mulai dari benang-benang pedi cure, medi cure, rebonding, spa, salon, skin cleaning, dll. Dan lupa untuk membenahi rumah jiwanya sehingga hanya mempunyai pondasi yang rapuh dan hasil seadanya.  
Padahal kalau saja ada interaksi yang menyeluruh dari dimensi fisik dan non fisik ini tentusaja dengan kesadaran diri penuh dari perempuan itu sendiri maka alienisasi akan terdeterminasi dengan sendirinya, hapus bersama dentang waktu.
Dan jika hal itu terjadi mungkin para pria akan berkata “When I see you, I run out of words to say, I wouldn't leave you, Cause you're that type of girl to make me stay”. Akan ada daya “sihir” yang menarik para pria tersebut kepada perempuan yang “terinteraksi” tersebut dan sangat mungkin pada akhirnya para pria tersebut akan melakukan “pemujaan” tertentu seperti yang di nyanyikan James Blunt :
You’re beautiful
You’re beautiful
You’re beautiful  it’s true
There must be an angel with a smile on her face
when she thought up that I should be with you.
But it’s to time face the truth,
cause I'll never be with you    
Yup, untuk kata penutup, sudah seharusnya para perempuan sekarang untuk mulai menyadari bahwa mereka adalah sebuah pribadi menarik, walaupun tanpa balutan kosmetik, dan pakaian serta barang ber-merek. Seperti yang di katakan oleh Akon “  Girl I don't  wanna bother  you,'Cause you're independent  and you got my attention, Girl I just wanna show you, That I love what you are doing”.
Dan sebagai salam terakhir, mudah-mudahan nga’ ada yang marah, sebab tulisan ini Cuma timbunan “toxid” bacaan yang sudah ingin keluar dari kotak memori yang terbatas, jadi bahasannya agak idealis-imajinatif-funnies-dan sok-is..dan untuk kalian para perempuan yakinkan diri bahwa:
You're so beautiful
So damn beautiful
Said you're so beautiful
So damn beautiful
You're so beautiful
beautiful
beautiful
beautiful
You're so beautiful
beautiful
beautiful
beautiful
You're so beautiful
You're a symbol of what every beautiful woman should be

SPIRITUALITAS SEBAGAI KUNCI KESUKSESAN MASA DEPAN BAGI KITA, ORGANISASI DAN LAINNYA


"Saya tidak suka dia." - Mengapa? - "Saya tidak cocok untuk dia." - Apakah ada orang yang pernah jadi terbaik?
Nietzsche dalam the good and evil
Sekarang mari kita bicakan tentang masa depan, sebagaimana dulu Nietzsche berbicara juga mengenai masa depan. Masa depan umat manusia tentunya. Nietzsche pada zamannya menolak eksistensi Tuhan, karena menurutnya “The God is Death” baginya Tuhan sudah mati karena ternyata Tuhan hanyalah suatu hasil pemikiran manusia. Sehingga yang paling berkuasa adalah manusia, oleh karena itulah Nietzsche kemudian menelurkan konsep manusia unggulnya. Suatu superioritas manusia atas segala sesuatu.
Bagaimana paralesisasinya dengan keadaan sekarang? Apakah konsep manusia unggul itu masih tetap relevan. Jawabannya tentu saja, ya. Tentu saja tanpa menolak eksistensi dari keberadaan Tuhan tentunya. Bukankah pusat pengaturan dari seluruh jagad ini berpusat pada manusia? Manusialah yang melakukan eksplorasi dan ekspedisi keberbagai belahan dunia, baik itu tanah, air, udara dan seiring dengan semakin berkembang dan kokohnya ilmu pengetahuan kemudian manusia mulai melewati batas-batas dunia ini karena “the world is not enought” bumi ini saja tidaklah cukup untuk memuaskan hasrat manusia yang begitu tinggi.
Pada zamannya Nietzsche boleh saja menolak eksistensi Tuhan karena kekecewaannya pada masa tersebut (the dark age), namun melalui perjalanan panjang masa ternyata manusia memang tidak bisa lepas dari kekuasaan Tuhan sebagai Rajanya para manusia. Ternyata setelah era penolakan eksistensi Tuhan dengan lebih menerima Ilmu pengetahuan (akal, rasio) sebagai penganti-Nya manusia kembali kepada zaman religilitas kembali. Kalau dulu eksistensi Tuhan di pertanyakan dan ditolak dengan ilmu pengetahuan, sekarang ilmu pengetahuan tersebut mulai membuktikan akan ke Maha kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, sekarang banyak mulai bermunculan dari para ahli ilmu pengetahuan tersebut yang tidak menyangkal adanya eksistensi Tuhan.

Lalu, apa hubungan semua ini dengan topik kita? Apakah hal tersebut akan sangat berarti dimasa yang akan datang? Jawabannya menurut penulis adalah ya!! Karena ilmu pengetahuan telah mengeser pola kehidupan awal manusia yang religi kearah pemujaan terhadap materialisme. Suatu pengagungan terhadap kebendaan. Hal tersebut menurut para ahli telah memicu suatu penyakit bagi manusia sendiri, penyakit yang diidentifikasi sebagai penyakit jiwa atau “the spirit illnes” yang disebabkan terjainya lingkaran setan konsumerian yang membuat kita tergantung, dimana “kita berkerja dan membelanjakannya, kemudian bekerja lagi dan lebih banyak lagi membelanjakannya” atau dapat dikatakan “manusia ada untuk berkerja bukannya berkerja yang ada untuk manusia” sehingga timbul keinginan untuk keluar dari lingkaran tersebut. Hal tersebut memicu banyak pertanyaan pada diri manusia seperti “apa yang harus aku lakukan dengan masa kehidupanku ini”, “kenapa aku harus berkerja”, “apakah hal yang penting dalam hidup ini”, sehingga tercipta apa yang dinamakan “hollon” atau “wholeness” pada diri manusia. 
Pernyataan-pernyataan seperti itu menurut bruzze (1996) bukannya menyatakan ketidak senangan melainkan menginginkan sesuatu yang lebih lagi, yaitu karena tidak adanya nilai-nilai spiritual yang mereka rasakan. Sehingga menurut cacioppe (1999) hal tersebut membuat setiap orang ingin menerapkan nilai spiritualitas dalam setiap segi kehidupan mereka, karena mereka mencari suatu jalan yang menyeimbangkan antara bekerja dan hidup. Pembahasan mengenai spiritualitas tersebut semakin berkembang pada tahun 90-an dengan semakin banyaknya buku panduan praktis dalam penerapan nilai-nilai spiritual dalam kehiduapan, seperti Sevent Habits, Approaching The Corporate Hearth, Leadership And The New Science: Learning About Organization From An Ordery Universe dan banyak lagi pada masa sekarang buku-buku yang membahas nilai-nilai spiritualitas (contoh fenomenal di Indonesia adalah ESQ dan Sholat khusyuk) yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar kita tidak tergelincir pada jurang “hollon” atau kehampaan hidup.
Lalu apa pentingnya spiritualitas tersebut pada masa yang akan datang? Bukankah masa depan itu sesuatu yang belum pasti (uncertainty) karena itulah kebanyakan kita merasa gamang dalam menghadapai masa depan tersebut. Namun dalam hal ini para ahli banyak meramalkan mengenai karakteristik yang akan mendominasi masa depan tersebut, diantaranya mereka mengatakan bahwa masa depan akan didominasi oleh teknologi informasi dan ekonomi. Sehingga Friedman dengan beraninya membuat sebuah buku yang berjudul “The World Is Flat” karena di masa depan dunia benar-benar tidak berjarak (blur boundaries) baik antara satu negara dengan negara lainnya karena berbagai kemudahan yang dicapai dengan teknologi informasi dan hal tersebut menurutnya akan memacu kegiatan pada bidang ekonomi yang disebabkan semakin dekatnya jarak (penyingkatan pada dimensi ruang dan waktu sekaligus).
Nah, pada masa depan ini menurut para ahli akan terjadi persaingan yang sangat ketat atau bahkan “berdarah-darah” sehingga berlakulah teori evolusi yang di kemukakan oleh Charles Darwin yaitu “survival for the fittes” yaitu yang mampu beradabtasilah nantinya yang akan selamat dalam menempuh gejala persaingan yang ketat dan bahkan “berdarah-darah” tersebut. Menurut Illes (2001) untuk dapat menghadapi era persaingan tersebut maka suatu perusahaan haruslah memperhatikan competency (kemampuan)nya sendiri.
Menurutnya competency tersebut adalah suatu tindakan atau tingkah laku untuk mengeluarkan segenap kemampuan atau karakteristik yang ada yang mengeluarkan suatu tindakan. Persaingan inilah yang nantinya akan exist pada masa-masa yang akan datang. Persaingan dengan mengeluarkan segenap kemampuan untuk dapat menghasilkan sesuatu. Kemampuan untuk bertahan hidup dalam dunia yang semakin penuh dengan persaingan yang berdarah-darah dimana menurut Athey and Orth (1999) pada era tersebut tersebut akan terfokus pada kerjasama tim, proses, dan kemampuan organisasi.
Hal tersebut mengindikasikan betapa pentingnya peranan sumberdaya manusia untuk masa yang akan datang dan spiritualitas merupakan suatu jalan untuk dapat menghasilkan sesuatu menjadi lebih maksimal dengan menyeimbangkan antara kerja dan hidup. Jadi spiritualitas akan menuntun manusia lebih dekat dengan tujuan, hasil dan nilai yang diperlukan, sehingga sekarang tumbul konsep baru yaitu “human capital”(modal manusia) dan “spiritual capital” (modal spiritual) dimana tujuan dari human capital adalah  “skilled and educated people” sedangkan  spiritual capital sebagaimana yang dikutip dari Dr. Theodore Roosevelt Malloch merupakan “There may be no one set of religious principles regulating any given economic polity but all religious peoples, regardless of their faith community, make individual and collective choices in which personal faith colored by longstanding and deeply rooted historical religious traditions are highly relevant and important factors.” Dan dia menambahkan peranan spiritual capital yaitu “Spiritual capital can become a useful concept and term for a vital feature of economic development” jadi untuk masa yang akan datang spiritualitas menurut penulis merupakan faktor-faktor pemicu untuk dapat bertahan di dunia persaingan yang kian berdarah-darah.