Entri Populer

Kamis, 01 Desember 2011

BANGKU


“Pukul 8.00, ya….baru pukul 8.00” pikiran ku merasakan beban yang di pikulnya semakin besar setiap kali melihat jam tangan yang melilit kulit coklatku. Aku tahu kenapa pikiranku bertindak di luar normal, sebab jam 8.30 nanti akan ada ujian, dan ujian ini adalah penentuku untuk melanjutkan diri ke arena berikutnya dalam kancah perkuliahan “skripsi”.
Mataku masih saja memandangi jalanan kota Padang ke kampus. Menanti angkot atau bus kota yang melintasi dengan gagahnya dan dengan suara yang terkadang memekakkan telinga. Jalanan sekarang tampak lenggang karena sekarang adalah hari sabtu, dan aktivitas jalanan sepertinya berkurang seperempat dari hari yang biasanya. Tapi sekarang aku tak punya peduli untuk itu. Pikiranku Cuma terkonsentrasi pada satu hal yaitu “bagaimana supaya aku datang di ruangan ujian tanpa terlambat” atau “kalau pun agak terlambat agar di perbolehkan ikut ujian”.
“Ah, sialan” makiku, karena sekarang sudah menunjukkan pukul 8.15, dan bus yang ku tunggu sekarang sedang berhenti dan jalan dengan ogah-ogahan mendekatiku. Ku acungkan jari ku untuk menghentikannya, jikalau dalam kondisi normal (senen-jumat) bus ini takkan ku naiki, namun sekarang kondisi darurat. Karena di belakangnya ku lihat tidak ada lagi bus yang menampakkan dirinya, dan dengan kepasrahan aku memilih bus ini.
Tidak seperti biasanya bus kota ini di tumpangi oleh sedikit orang, seolah orang-orang di daerah ini tidak mau naik bus. Bus ini hanya berisi aku yang duduk sendirian di bangku kedua terakhir dari belakang, dan seorang ibu tua yang membawa sayuran yang duduk di bangku paling depan, dan dia bahkan tidak menoleh ketika aku naik. Selain itu masih ada supir dan keneknya.
Sekarang aku berfokus pada ujian ku. Aku mulai komat-kamit. Mulai mengingat-ingat bagian-bagian pelajaran yang terlintas di benakku. Kilasan-kilasan pelajaran yang di sampaikan Bu Ilni. Walaupun pada waktu itu aku dan kebanyakan mahasiswa laki-laki lainnya hanya menikmati suara lembut dan wajah cantiknya.
Tidak lama setelah itu, aku mendengar bunyi uang recehan yang memecah konsentrasiku pada bu Ilni. “ah, sialan” batinku. “bang, ongkosnya bang” sahut kenek bus kota pada ku yang memandang kearah datangnya bunyi recehan tersebut. “iya, tunggu sebentar” sahut ku ketus sambil mulai menelusuri kantong pundi-pundi yang ada di saku baju.
Aku memasukkan jari agak dalam ke saku baju depanku, dan tak menemukan apa-apa. Lalu ku ganti pada saku celana ku yangdi depan, ku keruk satu-satu saku celana itu dari depan sampai belakang. Dan, tetap saja tak bisa ku temukan uang di saku celanaku. Gila. Ini tidak mungkin, masak aku bisa ketinggalan uang. Bagaimana caranya aku ke kampus. Sebab kalau hari sabtu biasanya bus kampus sedikit dan hanya berangkat jika mahasiswa penuh sesak. Pikiranku mulai meliar, mulai nenerawang pada kejadian-kejadian jelek yang akan datang di depan. Tentang aku yang terlambat ujian plus omelan yang akan mengantarkannya, tentang tidak di perbolehkannya aku melanjutkan ujian, dan tidak di perbolehkannya aku mengambil ujian susulan. Tentang orang tuaku yang begitu mengginginkan anaknya segera tamat dan meraih gelar sarjana. Tentang tangis dan kecewa mereka karena anaknya yang akan memperlama jadwal kuliahnnya satu semester lagi.
“Bang, ada ngak ongkosnya” sahut kenek tersebut setengah membentak sehingga membangunkanku dari lamunan. “iya bang, tunggu sebentar” sahutku “saya periksa tas, saya dulu” kataku sambil membuka resleting tas yang sudah mulai kehilangan warnanya.
“Nanti saya datang lagi” sahutnya sambil geleng-geleng kepala. Aku penuh dengan kecemasan, semua mata pelajaran yang ku coba baying-bayangkan tadi selarang lebur. Hilang entah kemana. Aku mencoba mencari-cari uang di tasku. uangnya tak seberapa, hanyak Rp. 1,500.- namun ini masalah harga diri, masalah sopan santun. Pikirku.
Aku coba lagi membolak-balik buku-buku berantakan di dalam tasku. Ku cari-cari dan sangat berharap seandainya ada uang yang menyelip di lembaran kertas tersebut. Namun tidak ada uang yang ku temukan di sana, yang ada hanya lembar-lembar kertas putih dan tumpukan buku-buku pelajaran. Aku merasakan putus asa. Lebih putus asa dari pada yang sebelumnya.
Keputus asaan ini menyebabkan kekosongan di kepalaku, sesekali ku lihat kenek yang berteriak-teriak di pintu depan bus, dan kemudian ku tundukkan kepalaku. Ada perasaan takut, segan dan  resah yang campur aduk. Aku menundukkan kepalaku sambil kemudian mulai berdoa. Dan memikirkan tindakan-tindakan nekat lainnya seperti langsung loncat dari bus atau memohon-mohon untuk tidak membayar. Ya, semuanya mulai aku pikirkan. Dan ketika itulah mataku menemukan sebuah dompet di bangku ini.
Sebuah dompet kulit yang lumayan bagus. Dompet dengan warna kecoklatan yang terselip di antara dudukan dan sandaran bangku ini. Aku tidak habis piker, apakah ini anugrah yang di berikan Tuhan pada hamba-hambanya atau ini adalah cobaan atau malah malapetaka. Berikutnya yang terjadi adalah, tanganku mulai mengambil dompet tersebut, dan memeriksa isinya. Dan aku sungguh terkejut melihat isinya. Penuh dengan uang Rp. 100.000.- sebanyak 10 buah dan beberapa uang Rp. 10.000.- ku lirik lagi kenek bus ini, tapi dia terlihat cuek dan tidak peduli. Dia lebih mementingkan mencari calon penumpang baru dari pada melihat para penumpang yang ada di bus tersebut.
Aku ingin memberikan dompet ini pada kenek tersebut, tapi takut nanti bahwa mereka akan mengambil isi dari dompet tersebut dan bukannya mengembalikan atau menyerahkannya pada pihak berwajib. Aku merasa sebaiknya aku saja yang menyimnyapannya. Akulah yang berhak untuk memberikannya, bukankah aku yang pertama kali melihatnya dan menemukannya. Dan jika nanti orang yang kehilangan ini memberikan tips, itu adalah hakku. Dan aku berjanji bahwa aku akan memberikannya pada pihak yang berwajib. Ini janji laki-laki, pikirku. Yah, sebaiknya memang aku yang membawanya, pikirku.
“kampus,kampus, perhentian terakhir” sahut kenek dengan nyaring. Aku kemudian memasukkan dompet tersebut ke tasku dan mengambil selembar uang sepuluh ribunya yang ku berikan ke kenek tadi. “kembaliannya ni bang” sahutnya. “tidak perlu, ambil buat kamu saja” sahutku sok. “wah, makasi bang” jawabnya antusias. Kemudian aku pun turun.
Uang sepuluh ribu tadi seharusnya adalah tips ku karena telah menyelamatkan dompet ini pikirku. Ya, cukup berartilah dibandingkan dengan isinya pikirku. Sekarang aku berfikir bagaimana harus ke kampus. Jam sekarang sudah menunjukkan pukul 8.30, “wah, harus cepat-cepat nih” pikirku, kalau tidak aku tidak akan di perbolehkan untuk mengikuti ujian. Aku harus menemukan alternative yang cepat dan nyaman untuk ke kampus. Lalu akuu menaiki taksi yang parker disana, “ke kampus bang, ruang F 35” sahutku pada sopirnya. Aku berfikir apa salahnya ku pakai lagi uang ini, toh nanti akan ku kembalikan kok ke pemiliknya, atau nanti ku serahkan ke pihak yang berwajib saja. Ah, urusan dompet, nanti saja di pikirkan. Sekarang waktunya ujian. Daripada tidak naik semester.