Entri Populer

Rabu, 29 Agustus 2012

SPIRITUALITAS SEBAGAI KUNCI KESUKSESAN MASA DEPAN BAGI KITA, ORGANISASI DAN LAINNYA

"Saya tidak suka dia." - Mengapa? - "Saya tidak cocok untuk dia." - Apakah ada orang yang pernah jadi terbaik?

Nietzsche dalam the good and evil

Sekarang mari kita bicakan tentang masa depan, sebagaimana dulu Nietzsche berbicara juga mengenai masa depan. Masa depan umat manusia tentunya. Nietzsche pada zamannya menolak eksistensi Tuhan, karena menurutnya “The God is Death” baginya Tuhan sudah mati karena ternyata Tuhan hanyalah suatu hasil pemikiran manusia. Sehingga yang paling berkuasa adalah manusia, oleh karena itulah Nietzsche kemudian menelurkan konsep manusia unggulnya. Suatu superioritas manusia atas segala sesuatu.

Bagaimana paralesisasinya dengan keadaan sekarang? Apakah konsep manusia unggul itu masih tetap relevan. Jawabannya tentu saja, ya. Tentu saja tanpa menolak eksistensi dari keberadaan Tuhan tentunya. Bukankah pusat pengaturan dari seluruh jagad ini berpusat pada manusia? Manusialah yang melakukan eksplorasi dan ekspedisi keberbagai belahan dunia, baik itu tanah, air, udara dan seiring dengan semakin berkembang dan kokohnya ilmu pengetahuan kemudian manusia mulai melewati batas-batas dunia ini karena “the world is not enought” bumi ini saja tidaklah cukup untuk memuaskan hasrat manusia yang begitu tinggi.

Pada zamannya Nietzsche boleh saja menolak eksistensi Tuhan karena kekecewaannya pada masa tersebut (the dark age), namun melalui perjalanan panjang masa ternyata manusia memang tidak bisa lepas dari kekuasaan Tuhan sebagai Rajanya para manusia. Ternyata setelah era penolakan eksistensi Tuhan dengan lebih menerima Ilmu pengetahuan (akal, rasio) sebagai penganti-Nya manusia kembali kepada zaman religilitas kembali. Kalau dulu eksistensi Tuhan di pertanyakan dan ditolak dengan ilmu pengetahuan, sekarang ilmu pengetahuan tersebut mulai membuktikan akan ke Maha kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, sekarang banyak mulai bermunculan dari para ahli ilmu pengetahuan tersebut yang tidak menyangkal adanya eksistensi Tuhan.



Lalu, apa hubungan semua ini dengan topik kita? Apakah hal tersebut akan sangat berarti dimasa yang akan datang? Jawabannya menurut penulis adalah ya!! Karena ilmu pengetahuan telah mengeser pola kehidupan awal manusia yang religi kearah pemujaan terhadap materialisme. Suatu pengagungan terhadap kebendaan. Hal tersebut menurut para ahli telah memicu suatu penyakit bagi manusia sendiri, penyakit yang diidentifikasi sebagai penyakit jiwa atau “the spirit illnes” yang disebabkan terjainya lingkaran setan konsumerian yang membuat kita tergantung, dimana “kita berkerja dan membelanjakannya, kemudian bekerja lagi dan lebih banyak lagi membelanjakannya” atau dapat dikatakan “manusia ada untuk berkerja bukannya berkerja yang ada untuk manusia” sehingga timbul keinginan untuk keluar dari lingkaran tersebut. Hal tersebut memicu banyak pertanyaan pada diri manusia seperti “apa yang harus aku lakukan dengan masa kehidupanku ini”, “kenapa aku harus berkerja”, “apakah hal yang penting dalam hidup ini”, sehingga tercipta apa yang dinamakan “hollon” atau “wholeness” pada diri manusia.

Pernyataan-pernyataan seperti itu menurut bruzze (1996) bukannya menyatakan ketidak senangan melainkan menginginkan sesuatu yang lebih lagi, yaitu karena tidak adanya nilai-nilai spiritual yang mereka rasakan. Sehingga menurut cacioppe (1999) hal tersebut membuat setiap orang ingin menerapkan nilai spiritualitas dalam setiap segi kehidupan mereka, karena mereka mencari suatu jalan yang menyeimbangkan antara bekerja dan hidup. Pembahasan mengenai spiritualitas tersebut semakin berkembang pada tahun 90-an dengan semakin banyaknya buku panduan praktis dalam penerapan nilai-nilai spiritual dalam kehiduapan, seperti Sevent Habits, Approaching The Corporate Hearth, Leadership And The New Science: Learning About Organization From An Ordery Universe dan banyak lagi pada masa sekarang buku-buku yang membahas nilai-nilai spiritualitas (contoh fenomenal di Indonesia adalah ESQ dan Sholat khusyuk) yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar kita tidak tergelincir pada jurang “hollon” atau kehampaan hidup.

Lalu apa pentingnya spiritualitas tersebut pada masa yang akan datang? Bukankah masa depan itu sesuatu yang belum pasti (uncertainty) karena itulah kebanyakan kita merasa gamang dalam menghadapai masa depan tersebut. Namun dalam hal ini para ahli banyak meramalkan mengenai karakteristik yang akan mendominasi masa depan tersebut, diantaranya mereka mengatakan bahwa masa depan akan didominasi oleh teknologi informasi dan ekonomi. Sehingga Friedman dengan beraninya membuat sebuah buku yang berjudul “The World Is Flat” karena di masa depan dunia benar-benar tidak berjarak (blur boundaries) baik antara satu negara dengan negara lainnya karena berbagai kemudahan yang dicapai dengan teknologi informasi dan hal tersebut menurutnya akan memacu kegiatan pada bidang ekonomi yang disebabkan semakin dekatnya jarak (penyingkatan pada dimensi ruang dan waktu sekaligus).

Nah, pada masa depan ini menurut para ahli akan terjadi persaingan yang sangat ketat atau bahkan “berdarah-darah” sehingga berlakulah teori evolusi yang di kemukakan oleh Charles Darwin yaitu “survival for the fittes” yaitu yang mampu beradabtasilah nantinya yang akan selamat dalam menempuh gejala persaingan yang ketat dan bahkan “berdarah-darah” tersebut. Menurut Illes (2001) untuk dapat menghadapi era persaingan tersebut maka suatu perusahaan haruslah memperhatikan competency (kemampuan)nya sendiri.

Menurutnya competency tersebut adalah suatu tindakan atau tingkah laku untuk mengeluarkan segenap kemampuan atau karakteristik yang ada yang mengeluarkan suatu tindakan. Persaingan inilah yang nantinya akan exist pada masa-masa yang akan datang. Persaingan dengan mengeluarkan segenap kemampuan untuk dapat menghasilkan sesuatu. Kemampuan untuk bertahan hidup dalam dunia yang semakin penuh dengan persaingan yang berdarah-darah dimana menurut Athey and Orth (1999) pada era tersebut tersebut akan terfokus pada kerjasama tim, proses, dan kemampuan organisasi.

spiritual capital sebagaimana yang dikutip dari Dr. Theodore Roosevelt Malloch merupakan “There may be no one set of religious principles regulating any given economic polity but all religious peoples, regardless of their faith community, make individual and collective choices in which personal faith colored by longstanding and deeply rooted historical religious traditions are highly relevant and important factors.” Dan dia menambahkan peranan spiritual capital yaitu “Spiritual capital can become a useful concept and term for a vital feature of economic development” jadi untuk masa yang akan datang spiritualitas menurut penulis merupakan faktor-faktor pemicu untuk dapat bertahan di dunia persaingan yang kian berdarah-darah.“skilled and educated people” sedangkanHal tersebut mengindikasikan betapa pentingnya peranan sumberdaya manusia untuk masa yang akan datang dan spiritualitas merupakan suatu jalan untuk dapat menghasilkan sesuatu menjadi lebih maksimal dengan menyeimbangkan antara kerja dan hidup. Jadi spiritualitas akan menuntun manusia lebih dekat dengan tujuan, hasil dan nilai yang diperlukan, sehingga sekarang tumbul konsep baru yaitu “human capital”(modal manusia) dan “spiritual capital” (modal spiritual)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar