“Pukul 8.00, ya….baru pukul 8.00”
pikiran ku merasakan beban yang di pikulnya semakin besar setiap kali melihat
jam tangan yang melilit kulit coklatku. Aku tahu kenapa pikiranku bertindak di
luar normal, sebab jam 8.30 nanti akan ada ujian, dan ujian ini adalah
penentuku untuk melanjutkan diri ke arena berikutnya dalam kancah perkuliahan “skripsi”.
Mataku masih saja memandangi
jalanan kota Padang ke kampus. Menanti angkot atau bus kota yang melintasi
dengan gagahnya dan dengan suara yang terkadang memekakkan telinga. Jalanan sekarang
tampak lenggang karena sekarang adalah hari sabtu, dan aktivitas jalanan
sepertinya berkurang seperempat dari hari yang biasanya. Tapi sekarang aku tak
punya peduli untuk itu. Pikiranku Cuma terkonsentrasi pada satu hal yaitu “bagaimana
supaya aku datang di ruangan ujian tanpa terlambat” atau “kalau pun agak
terlambat agar di perbolehkan ikut ujian”.
“Ah, sialan” makiku, karena
sekarang sudah menunjukkan pukul 8.15, dan bus yang ku tunggu sekarang sedang
berhenti dan jalan dengan ogah-ogahan mendekatiku. Ku acungkan jari ku untuk
menghentikannya, jikalau dalam kondisi normal (senen-jumat) bus ini takkan ku
naiki, namun sekarang kondisi darurat. Karena di belakangnya ku lihat tidak ada
lagi bus yang menampakkan dirinya, dan dengan kepasrahan aku memilih bus ini.
Tidak seperti biasanya bus kota
ini di tumpangi oleh sedikit orang, seolah orang-orang di daerah ini tidak mau
naik bus. Bus ini hanya berisi aku yang duduk sendirian di bangku kedua
terakhir dari belakang, dan seorang ibu tua yang membawa sayuran yang duduk di
bangku paling depan, dan dia bahkan tidak menoleh ketika aku naik. Selain itu
masih ada supir dan keneknya.
Sekarang aku berfokus pada ujian
ku. Aku mulai komat-kamit. Mulai mengingat-ingat bagian-bagian pelajaran yang
terlintas di benakku. Kilasan-kilasan pelajaran yang di sampaikan Bu Ilni. Walaupun
pada waktu itu aku dan kebanyakan mahasiswa laki-laki lainnya hanya menikmati
suara lembut dan wajah cantiknya.
Tidak lama setelah itu, aku
mendengar bunyi uang recehan yang memecah konsentrasiku pada bu Ilni. “ah,
sialan” batinku. “bang, ongkosnya bang” sahut kenek bus kota pada ku yang
memandang kearah datangnya bunyi recehan tersebut. “iya, tunggu sebentar” sahut
ku ketus sambil mulai menelusuri kantong pundi-pundi yang ada di saku baju.
Aku memasukkan jari agak dalam ke
saku baju depanku, dan tak menemukan apa-apa. Lalu ku ganti pada saku celana ku
yangdi depan, ku keruk satu-satu saku celana itu dari depan sampai belakang. Dan,
tetap saja tak bisa ku temukan uang di saku celanaku. Gila. Ini tidak mungkin,
masak aku bisa ketinggalan uang. Bagaimana caranya aku ke kampus. Sebab kalau
hari sabtu biasanya bus kampus sedikit dan hanya berangkat jika mahasiswa penuh
sesak. Pikiranku mulai meliar, mulai nenerawang pada kejadian-kejadian jelek
yang akan datang di depan. Tentang aku yang terlambat ujian plus omelan yang
akan mengantarkannya, tentang tidak di perbolehkannya aku melanjutkan ujian,
dan tidak di perbolehkannya aku mengambil ujian susulan. Tentang orang tuaku
yang begitu mengginginkan anaknya segera tamat dan meraih gelar sarjana. Tentang
tangis dan kecewa mereka karena anaknya yang akan memperlama jadwal kuliahnnya
satu semester lagi.
“Bang, ada ngak ongkosnya” sahut
kenek tersebut setengah membentak sehingga membangunkanku dari lamunan. “iya
bang, tunggu sebentar” sahutku “saya periksa tas, saya dulu” kataku sambil
membuka resleting tas yang sudah mulai kehilangan warnanya.
“Nanti saya datang lagi” sahutnya
sambil geleng-geleng kepala. Aku penuh dengan kecemasan, semua mata pelajaran
yang ku coba baying-bayangkan tadi selarang lebur. Hilang entah kemana. Aku mencoba
mencari-cari uang di tasku. uangnya tak seberapa, hanyak Rp. 1,500.- namun ini
masalah harga diri, masalah sopan santun. Pikirku.
Aku coba lagi membolak-balik
buku-buku berantakan di dalam tasku. Ku cari-cari dan sangat berharap seandainya
ada uang yang menyelip di lembaran kertas tersebut. Namun tidak ada uang yang
ku temukan di sana, yang ada hanya lembar-lembar kertas putih dan tumpukan
buku-buku pelajaran. Aku merasakan putus asa. Lebih putus asa dari pada yang
sebelumnya.
Keputus asaan ini menyebabkan
kekosongan di kepalaku, sesekali ku lihat kenek yang berteriak-teriak di pintu
depan bus, dan kemudian ku tundukkan kepalaku. Ada perasaan takut, segan dan resah yang campur aduk. Aku menundukkan
kepalaku sambil kemudian mulai berdoa. Dan memikirkan tindakan-tindakan nekat
lainnya seperti langsung loncat dari bus atau memohon-mohon untuk tidak
membayar. Ya, semuanya mulai aku pikirkan. Dan ketika itulah mataku menemukan
sebuah dompet di bangku ini.
Sebuah dompet kulit yang lumayan
bagus. Dompet dengan warna kecoklatan yang terselip di antara dudukan dan
sandaran bangku ini. Aku tidak habis piker, apakah ini anugrah yang di berikan
Tuhan pada hamba-hambanya atau ini adalah cobaan atau malah malapetaka. Berikutnya
yang terjadi adalah, tanganku mulai mengambil dompet tersebut, dan memeriksa
isinya. Dan aku sungguh terkejut melihat isinya. Penuh dengan uang Rp.
100.000.- sebanyak 10 buah dan beberapa uang Rp. 10.000.- ku lirik lagi kenek
bus ini, tapi dia terlihat cuek dan tidak peduli. Dia lebih mementingkan
mencari calon penumpang baru dari pada melihat para penumpang yang ada di bus
tersebut.
Aku ingin memberikan dompet ini
pada kenek tersebut, tapi takut nanti bahwa mereka akan mengambil isi dari
dompet tersebut dan bukannya mengembalikan atau menyerahkannya pada pihak
berwajib. Aku merasa sebaiknya aku saja yang menyimnyapannya. Akulah yang
berhak untuk memberikannya, bukankah aku yang pertama kali melihatnya dan
menemukannya. Dan jika nanti orang yang kehilangan ini memberikan tips, itu
adalah hakku. Dan aku berjanji bahwa aku akan memberikannya pada pihak yang
berwajib. Ini janji laki-laki, pikirku. Yah, sebaiknya memang aku yang
membawanya, pikirku.
“kampus,kampus, perhentian
terakhir” sahut kenek dengan nyaring. Aku kemudian memasukkan dompet tersebut
ke tasku dan mengambil selembar uang sepuluh ribunya yang ku berikan ke kenek
tadi. “kembaliannya ni bang” sahutnya. “tidak perlu, ambil buat kamu saja”
sahutku sok. “wah, makasi bang” jawabnya antusias. Kemudian aku pun turun.
Uang sepuluh ribu tadi seharusnya
adalah tips ku karena telah menyelamatkan dompet ini pikirku. Ya, cukup
berartilah dibandingkan dengan isinya pikirku. Sekarang aku berfikir bagaimana
harus ke kampus. Jam sekarang sudah menunjukkan pukul 8.30, “wah, harus
cepat-cepat nih” pikirku, kalau tidak aku tidak akan di perbolehkan untuk
mengikuti ujian. Aku harus menemukan alternative yang cepat dan nyaman untuk ke
kampus. Lalu akuu menaiki taksi yang parker disana, “ke kampus bang, ruang F 35”
sahutku pada sopirnya. Aku berfikir apa salahnya ku pakai lagi uang ini, toh
nanti akan ku kembalikan kok ke pemiliknya, atau nanti ku serahkan ke pihak
yang berwajib saja. Ah, urusan dompet, nanti saja di pikirkan. Sekarang waktunya
ujian. Daripada tidak naik semester.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar