Entri Populer

Rabu, 29 Agustus 2012

Kenapa harus ber-Doa?

Sebagai manusia, kita hidup dalam suatu komunal. Dimana dahulunya nenek moyang kita hidup dengan menyandang parang dan golok demi memenuhi kebutuhan mereka akan sandang dan pangan, mereka menembus batas hutan-hutan yang mengajarkan akan kerasnya lingkungan yang mereka hadapi sehingga kemudian membentuk kelompok-kelompok atau komunitas pada gua-gua dan lembah-lembah sehingga terbentuklah suku-suku. Pada masa-masa ini umat manusia yang berkepercayaan animisme mengantungkan harapan pada roh-roh.
Mereka percaya dengan berinteraksi secara harmoni dengan roh-roh tersebut akan membawa kebaikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka kemudian membaginya menjadi dua. Pertama roh yang mewakili kebaikan dan kemudian roh yang mewakili kejahatan, dengan terciptanya hal tersebut maka mereka pada saat itu menggantungkan harapan mereka pada roh pembawa kebaikan tersebut dengan bertindak sangat hati-hati agar tidak memancing kemarahan dari roh yang mewakili kejahatan. Seperti ketakutan para manusia gua tersebut pada halilintar yang mengelegar ketika hari hujan, dan ketakutan besar yang mereka hadapi ketika terjadinya gerhana matahari, dimana pada saat tersebut matahari kehilangan sinarnya untuk menerangi bumi karena terhalang oleh bulan, sedangkan para manusia gua tersebut berfikiran bahwa mereka telah melakukan kesalahan sehingga matahari kehilangan sinarnya (matahari mewakili pihak kebaikan) maka diperlukan suatu penebusan untuk mengembalikan kebaikan tersebut. Oleh karena itu kita mengenal ritual-ritual pengorbanan yang dilakukan untuk tetap mempertahankan kebaikan tersebut yang sampai sekarang bukti-bukti fisiknya dapat kita ketahui berkat para kerja keras para arkeolog.
Kemudian manusia membentuk suatu struktur sosial dan menetap sehingga timbullah perkampungan dan pola perekonomian merekapun berubah dari berburu menjadi bertani dan beternak. Pada masa ini manusia membutuhkan waktu yang banyak untuk bertani dan beternak sehingga manusia mulai mengembangkan kesenian dan filsafat sebagai manifestasi dari ilmu pengetahuan. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan tersebut maka manusia dijudge sebagai makhluk yang selalu ingin tahu oleh sebabnya manusia mempunyai keinginan yang tak terbatas. Sedangkan permasalahan yang dihadapai oleh manusia adalah kelangkaan untuk mewujudkan keinginan tersebut, terjadinya ketimpangan tersebut karena manusia hanya dilihat dari segi material atau dimensi fisik. Seperti permintaan manusia akan barang-barang untuk pemenuhan kebutuhannya sehingga manusia mengalami “split of personality” karena tidak terpenuninya dimensi rohaniahnya. Pentingnya dimensi rohaniah ini di presentasikan oleh para nenek moyang kita dahulu, dimana dimensi-dimensi rohaniah sangat kental dalam kehidupan mereka dan menjadi jalan dalam mengambil suatu keputusan.
Manusia adalah makhluk yang berkepercayaan, dimana dari pergerakan sejarahnya manusia selalu mengantungkan harapannya pada hal-hal yang dianggap melebihi kekuatan mereka dan pada zaman dahulu hal-hal tersebut termanifestasi dalam bentuk penyembahan pada roh-roh gaib yang dianggab menguasai alam, atau bisa kita katakan manusia dari dahulu suka bergantung pada hal-hal yang spiritual atau yang bersifat rohaniah. Namun sekarang, manusia lebih cendrung untuk mengantungkan kepercayaannya tersebut kepada hal-hal yang bersifat materil (fisiologis). Kecendrungan manusia pada saat sekarang ini pada pemenuhan dimensi fisiologis tersebut ternyata membawa keguncangan tersendiri bagi manusia (stress), hal tersebut telah dibahas oleh banyak para ahli psikologi yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan penyakit manusia zaman modern.
Penyakit manusia modern ini berdampak pada kepribadian manusia tersebut sehingga kita banyak mengenal istilah seperti “ split of personality”, “spiritual ilness”, “holon” dan “wholeness” dan istilah lainnya yang pada intinya manusia sekarang tidak mengetahui jati diri mereka karena mereka terlalu dipenuhi oleh atribut-atribut yang bersifat material (fisiologis). Hal-hal tersebut menekankan tentang pentingnya meminta (adanya interaksi antara dunia fisik dan rohaniah) kepada sesuatu yang melebihi kekuatan manusia tersebut. Dalam hal interaksi antara dunia yang berbeda tersebut diperlukan adanya suatu jembatan yang menghubungkan dua fisik dan roh tadi, dan Doa adalah jawabannya. Dimana dalam riwayat dari Ibn Husain bahwa “ aku telah mengadakan hubungan yang langsung antara aku dengan angan-angan dan harapan seluruh makhlukKu”

“Cara” adalah urusan Semesta. Semesta selalu tahu cara tersingkat, tercepat, dan terharmonis di anatar Anda dan impian Anda. “Bahan spiritual sumber kekayaan yang kasatmata datang tidaklah pernah habis. Bahan itu ada bersama Anda sepanjang waktu dan merespons kepercayaan Anda kepadanya dan tuntutan Anda kepadanya.”
Mike Dooley

“KIRI” IS THE DESIRE TO CHANGE

Apa yang akan anda pikirkan kalau orang bilang teman anda adalah bagian dari pihak “kiri”? tentu anda pikir dia adalah orang yang jahat, pelanggar, pemberontak, dekat dengan komunisme. Paling tidak tentu hal-hal yang berbau negatif akan anda lontarkan pada teman anda yang di hakimi sebagai orang “kiri” tersebut. Karena selama ini dalam masyarakat kita terutama mahasiswa, “kiri” cendrung untuk diartikan sebagai hal-hal negatif, melambangkan segala sesuatu yang buruk, sehingga orang-orang menjadi alergi terhadapnya.
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap “kiri” ini, ada baiknya kita lihat juga awal timbulnya pemikiran “kiri” ini. Dalam sebuah pengantar buku “Tan Malaka dan Gerakan kiri Minang-kabau” Oleh Asvi Warman Adam (2007) menjelaskan bahwa secara historis, dalam politik, istilah kiri digunakan untuk menyebut anggota parlemen di prancis yang terbentuk seusai Revolusi Prancis (Renaisance) yang duduk di sebelah kiri dari ketua dewan, jadi kelompok yang duduk di sebelah kanan yang dianggap moderat sedangkan yang berada dibagian kiri yang dipandang lebih progresif atau Revolusioner.
Dan seorang ahli mengatakan bahwa “kiri” merupakan “gagasan untuk menghapuskan hak-hak sosial istimewa, segala bentuk penindasan kolonial, pembatasan hak berbicara dan berekspresi dan menganjurkan kebebasan dan berkeadilan” sehingga tidak mengherankan “kiri” dalam pandangan masyarakat umum sering di identikkan dengan komunisme, pembangkangan, radikalisme, pemberontakan, revolusi, pemihakan pada buruh dan anti kemapanan lawan dari pada pemikiran “kanan” yang bersifat moderat, borjuis, kapitalis, penggunaan pasar bebas, dan aristokrasi. Dimana dalam istilah Perang Dunia II dulu adalah pertentangan (contradiction) antara Uni soviet (kiri) dan Amerika (kanan) dan menurut pemikiran saya, Perang Dunia II tersebut juga memberikan kotribusi baik langsung maupun tidak langsung terhadap paradigma masyarakat dalam menyerap makna kata “kiri” tadi ditambah dengan peranan pihak “kiri” tersebut dalam perebutan kemerdekaan indonesia, sehingga image negatife sudah tertanam terlebih dahulu dalam benak masyarakat kita ketimbang positifnya.
Untuk mengetahui bahwa kata “kiri” juga mempunyai kecendrungan makna yang positif kita mengikut pada kesimpulan yang di kemukakan oleh C. Wright Mills, dimana Mills mengatakan bahwa “Istilah kiri merujuk kepada sekelompok orang memiliki kecenderungan utopia, kelompok yang memiliki khayalan akan masa depan dan tatanan sosial yang lebih baik, hal itu tidak selalu berkonotasi buruk, menjadi Kiri berarti melibatkan diri dalam kritik politis, baik dalam hal tuntutan-tuntutan politis maupun program-program”. Jadi kalau kita ambil pengertian yang dikemukakan oleh Mills dan pendapat para ahli yang di kemukakan di atas tersebut maka “kiri” merupakan sebuah gerakan yang sebenarnya bukan saja hanya bertujuan untuk kerusakan dan identik dengan hal-hal negatif, namun “kiri” merupakan suatu gerakan dari sekelompok orang yang bertujuan untuk membuat segala sesuatu menjadi lebih baik, yang menganjurkan akan kebebasan dan berkeadilan dengan cara-cara yang lebih revolutioner atau bertentangan dengan cara-cara biasa (conventional) sehingga orang-orang kiri cendrung di identikkan dengan pemberontak. Walau identik dengan pemberontak namun sebenarnya para orang-orang kiri tersebut mempunyai suatu tujuan mulia, seperti yang telah kita bahas diatas. Jadi “kiri” bisa dikatakan adalah hasrat untuk berubah untuk menjadi lebih baik. Desire to change toward welfare.

SPIRITUALITAS SEBAGAI KUNCI KESUKSESAN MASA DEPAN BAGI KITA, ORGANISASI DAN LAINNYA

"Saya tidak suka dia." - Mengapa? - "Saya tidak cocok untuk dia." - Apakah ada orang yang pernah jadi terbaik?

Nietzsche dalam the good and evil

Sekarang mari kita bicakan tentang masa depan, sebagaimana dulu Nietzsche berbicara juga mengenai masa depan. Masa depan umat manusia tentunya. Nietzsche pada zamannya menolak eksistensi Tuhan, karena menurutnya “The God is Death” baginya Tuhan sudah mati karena ternyata Tuhan hanyalah suatu hasil pemikiran manusia. Sehingga yang paling berkuasa adalah manusia, oleh karena itulah Nietzsche kemudian menelurkan konsep manusia unggulnya. Suatu superioritas manusia atas segala sesuatu.

Bagaimana paralesisasinya dengan keadaan sekarang? Apakah konsep manusia unggul itu masih tetap relevan. Jawabannya tentu saja, ya. Tentu saja tanpa menolak eksistensi dari keberadaan Tuhan tentunya. Bukankah pusat pengaturan dari seluruh jagad ini berpusat pada manusia? Manusialah yang melakukan eksplorasi dan ekspedisi keberbagai belahan dunia, baik itu tanah, air, udara dan seiring dengan semakin berkembang dan kokohnya ilmu pengetahuan kemudian manusia mulai melewati batas-batas dunia ini karena “the world is not enought” bumi ini saja tidaklah cukup untuk memuaskan hasrat manusia yang begitu tinggi.

Pada zamannya Nietzsche boleh saja menolak eksistensi Tuhan karena kekecewaannya pada masa tersebut (the dark age), namun melalui perjalanan panjang masa ternyata manusia memang tidak bisa lepas dari kekuasaan Tuhan sebagai Rajanya para manusia. Ternyata setelah era penolakan eksistensi Tuhan dengan lebih menerima Ilmu pengetahuan (akal, rasio) sebagai penganti-Nya manusia kembali kepada zaman religilitas kembali. Kalau dulu eksistensi Tuhan di pertanyakan dan ditolak dengan ilmu pengetahuan, sekarang ilmu pengetahuan tersebut mulai membuktikan akan ke Maha kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, sekarang banyak mulai bermunculan dari para ahli ilmu pengetahuan tersebut yang tidak menyangkal adanya eksistensi Tuhan.



Lalu, apa hubungan semua ini dengan topik kita? Apakah hal tersebut akan sangat berarti dimasa yang akan datang? Jawabannya menurut penulis adalah ya!! Karena ilmu pengetahuan telah mengeser pola kehidupan awal manusia yang religi kearah pemujaan terhadap materialisme. Suatu pengagungan terhadap kebendaan. Hal tersebut menurut para ahli telah memicu suatu penyakit bagi manusia sendiri, penyakit yang diidentifikasi sebagai penyakit jiwa atau “the spirit illnes” yang disebabkan terjainya lingkaran setan konsumerian yang membuat kita tergantung, dimana “kita berkerja dan membelanjakannya, kemudian bekerja lagi dan lebih banyak lagi membelanjakannya” atau dapat dikatakan “manusia ada untuk berkerja bukannya berkerja yang ada untuk manusia” sehingga timbul keinginan untuk keluar dari lingkaran tersebut. Hal tersebut memicu banyak pertanyaan pada diri manusia seperti “apa yang harus aku lakukan dengan masa kehidupanku ini”, “kenapa aku harus berkerja”, “apakah hal yang penting dalam hidup ini”, sehingga tercipta apa yang dinamakan “hollon” atau “wholeness” pada diri manusia.

Pernyataan-pernyataan seperti itu menurut bruzze (1996) bukannya menyatakan ketidak senangan melainkan menginginkan sesuatu yang lebih lagi, yaitu karena tidak adanya nilai-nilai spiritual yang mereka rasakan. Sehingga menurut cacioppe (1999) hal tersebut membuat setiap orang ingin menerapkan nilai spiritualitas dalam setiap segi kehidupan mereka, karena mereka mencari suatu jalan yang menyeimbangkan antara bekerja dan hidup. Pembahasan mengenai spiritualitas tersebut semakin berkembang pada tahun 90-an dengan semakin banyaknya buku panduan praktis dalam penerapan nilai-nilai spiritual dalam kehiduapan, seperti Sevent Habits, Approaching The Corporate Hearth, Leadership And The New Science: Learning About Organization From An Ordery Universe dan banyak lagi pada masa sekarang buku-buku yang membahas nilai-nilai spiritualitas (contoh fenomenal di Indonesia adalah ESQ dan Sholat khusyuk) yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar kita tidak tergelincir pada jurang “hollon” atau kehampaan hidup.

Lalu apa pentingnya spiritualitas tersebut pada masa yang akan datang? Bukankah masa depan itu sesuatu yang belum pasti (uncertainty) karena itulah kebanyakan kita merasa gamang dalam menghadapai masa depan tersebut. Namun dalam hal ini para ahli banyak meramalkan mengenai karakteristik yang akan mendominasi masa depan tersebut, diantaranya mereka mengatakan bahwa masa depan akan didominasi oleh teknologi informasi dan ekonomi. Sehingga Friedman dengan beraninya membuat sebuah buku yang berjudul “The World Is Flat” karena di masa depan dunia benar-benar tidak berjarak (blur boundaries) baik antara satu negara dengan negara lainnya karena berbagai kemudahan yang dicapai dengan teknologi informasi dan hal tersebut menurutnya akan memacu kegiatan pada bidang ekonomi yang disebabkan semakin dekatnya jarak (penyingkatan pada dimensi ruang dan waktu sekaligus).

Nah, pada masa depan ini menurut para ahli akan terjadi persaingan yang sangat ketat atau bahkan “berdarah-darah” sehingga berlakulah teori evolusi yang di kemukakan oleh Charles Darwin yaitu “survival for the fittes” yaitu yang mampu beradabtasilah nantinya yang akan selamat dalam menempuh gejala persaingan yang ketat dan bahkan “berdarah-darah” tersebut. Menurut Illes (2001) untuk dapat menghadapi era persaingan tersebut maka suatu perusahaan haruslah memperhatikan competency (kemampuan)nya sendiri.

Menurutnya competency tersebut adalah suatu tindakan atau tingkah laku untuk mengeluarkan segenap kemampuan atau karakteristik yang ada yang mengeluarkan suatu tindakan. Persaingan inilah yang nantinya akan exist pada masa-masa yang akan datang. Persaingan dengan mengeluarkan segenap kemampuan untuk dapat menghasilkan sesuatu. Kemampuan untuk bertahan hidup dalam dunia yang semakin penuh dengan persaingan yang berdarah-darah dimana menurut Athey and Orth (1999) pada era tersebut tersebut akan terfokus pada kerjasama tim, proses, dan kemampuan organisasi.

spiritual capital sebagaimana yang dikutip dari Dr. Theodore Roosevelt Malloch merupakan “There may be no one set of religious principles regulating any given economic polity but all religious peoples, regardless of their faith community, make individual and collective choices in which personal faith colored by longstanding and deeply rooted historical religious traditions are highly relevant and important factors.” Dan dia menambahkan peranan spiritual capital yaitu “Spiritual capital can become a useful concept and term for a vital feature of economic development” jadi untuk masa yang akan datang spiritualitas menurut penulis merupakan faktor-faktor pemicu untuk dapat bertahan di dunia persaingan yang kian berdarah-darah.“skilled and educated people” sedangkanHal tersebut mengindikasikan betapa pentingnya peranan sumberdaya manusia untuk masa yang akan datang dan spiritualitas merupakan suatu jalan untuk dapat menghasilkan sesuatu menjadi lebih maksimal dengan menyeimbangkan antara kerja dan hidup. Jadi spiritualitas akan menuntun manusia lebih dekat dengan tujuan, hasil dan nilai yang diperlukan, sehingga sekarang tumbul konsep baru yaitu “human capital”(modal manusia) dan “spiritual capital” (modal spiritual)

konflik

tak ada yang baik selain punya tujuan yang baik

kepada Tuhan

Tuhan izinkan aku dekat padaMu
sebab setiap ku telpon sehari semalam melalui telponMu
nada sibuk selalu menghantui ku
ku hubungi lagi 24434
namun doa ku pending melulu---
...

KEAJAIBAN TANGAN

Jika membaca judulnya buku ini seperti memberikan nilai lebih terhadap tangan kita, dan setelah membacanya ternyata buku ini hampir sama dengan buku-buku palmistri (buku yang membahas tentang pembacaan garis tangan) lainnya. 
Plusnya buku ini memberikan "Keistimewaan" dengan menambahkan pentingnya tangan di tinjau dari sisi Agama terutama dari Agama Islam ditambah dengan pembahasan secara ilmiah mengenai tangan.
Untuk membaca dan menambah pengetahuan anda  dalam Palmistri, buku ini sepertinya akan menambah khazahan anda lama science dan agama.


THE LIAR'S GUIDE

Buku ini sebenarnya sudah lama di beli, dari zaman kuliah dulu.
Hebatnya buku ini mengajarkan bagaimana cara menjadi seorang "Pembohong" yang baik atau "white liar" dengan garis bawah demi "kebaikan" selain itu, buku ini juga menyajikan cara-cara menyibak orang yang berbohong ke kita, selain cara berbohong yang baik.
Buku ini cukup tipis, karena berisi panduan-panduan dan pengalaman penulis.